background

Blog

Oleh :

Muhammad Zharfan

Mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi dan Bisnis

Universitas Dwijendra

Sunarpos.com| Opini| Baru-baru ini, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan uji materiil Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Putusan tersebut menyatakan bahwa batas usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) adalah 40 tahun atau pernah atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu termasuk pemilihan daerah.

Dalam artikel ini, kita akan merenungkan mengapa keputusan MK ini memunculkan permasalahan yang kompleks, mengapa hal ini sangat penting untuk dikaji, dan bagaimana kita sebagai warga negara dapat meresponsnya.

Penjadwalan sidang yang lambat dan penundaan yang terus-menerus menimbulkan ketidakpastian hukum di kalangan masyarakat. Ketidakhadiran Ketua MK dalam beberapa sidang mengundang pertanyaan serius mengenai transparansi dan independensi lembaga tersebut. Perubahan sikap MK dari menolak permohonan sebelumnya menjadi mengabulkan sebagian juga menimbulkan kebingungan, menggugah spekulasi mengenai tekanan politik atau campur tangan eksternal.

Isu-isu politik, seperti konflik kepentingan, menjadi sorotan dalam proses peradilan ini. Ketidakjelasan seputar independensi dan netralitas MK memicu keraguan terhadap keputusan-keputusan yang diambil. Pertanyaan mendasar adalah sejauh mana kepentingan politik telah mempengaruhi proses pengambilan keputusan di dalam MK, sebuah lembaga yang seharusnya menjaga keadilan dan supremasi hukum.

Batasan usia dan pengalaman calon presiden dan wakil presiden menjadi titik fokus dalam perdebatan ini. Ketidakjelasan kriteria pengalaman yang diakui sebagai syarat memunculkan pertanyaan esensial: apakah pengalaman sebagai kepala daerah dianggap setara dengan kualifikasi untuk memimpin negara? Pemahaman yang ambigu terkait pengalaman calon menjadi salah satu aspek yang perlu diperjelas dalam undang-undang.

Dalam menghadapi kontroversi seputar batasan usia calon presiden dan wakil presiden, penting bagi MK untuk merestorasi kepercayaan publik. MK harus memastikan bahwa setiap keputusan didasarkan pada hukum yang obyektif, independen, dan netral. Integritas lembaga peradilan adalah fondasi demokrasi yang sehat. Dengan merawat integritas ini, MK dapat memastikan bahwa prinsip-prinsip dasar demokrasi dan supremasi hukum tetap terjaga.

Penting untuk diingat bahwa kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga negara adalah pondasi demokrasi yang kuat. Mahkamah Konstitusi harus menjalankan tugasnya dengan penuh integritas dan independensi, memastikan bahwa keadilan dan supremasi hukum di Indonesia tidak hanya menjadi slogan kosong, tetapi juga prinsip-prinsip yang ditegakkan dengan kokoh.

Implikasi politis dan hukum dari keputusan ini sangat signifikan. Perubahan batas usia calon presiden dan wakil presiden seharusnya tidak hanya dipandang dari sudut pandang politik atau kepentingan pihak tertentu. Ini berkaitan dengan prinsip-prinsip demokrasi, supremasi hukum, dan keadilan, yang seharusnya menjadi dasar dalam pembentukan hukum.

Dari segi politik, putusan ini dapat berdampak pada pola rekrutmen calon presiden dan wakil presiden di masa mendatang. Dengan membuka peluang bagi calon yang berusia di bawah 40 tahun, putusan ini dapat mendorong munculnya generasi muda yang lebih aktif dalam politik. Namun, di sisi lain, putusan ini juga dapat menimbulkan kekhawatiran akan munculnya pemimpin yang belum memiliki pengalaman dan kecakapan yang memadai.

Dari segi hukum, putusan ini dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Ketidakjelasan kriteria pengalaman yang diakui sebagai syarat memunculkan pertanyaan mengenai kesetaraan hak dan perlakuan yang adil bagi calon presiden dan wakil presiden.

Penting bagi kita sebagai warga negara untuk memahami implikasi putusan ini terhadap demokrasi dan keadilan, serta berperan aktif dalam memilih pemimpin yang benar-benar mewakili nilai-nilai kebangsaan dan keadilan.

Kejadian ini harus menjadi momentum bagi kita semua untuk meninjau kembali proses pembentukan hukum, memastikan bahwa lembaga-lembaga negara tetap independen, dan memberikan kepercayaan kepada rakyat bahwa hukum di Indonesia benar-benar menjadi landasan yang adil dan kuat bagi setiap warga negara.

Muhammad Zharfan

Mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi dan Bisnis

Universitas Dwijendra