Oleh : Putri Rahayu
Mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi dan Bisnis
Universitas Dwijendra
Bertahun-tahun lamanya kemerdekaan Indonesia dijalani, namun hanya berdasarkan fisik belaka. Masih banyak kehidupan masyarakat yang jauh dari kata “ Merdeka “. Dipandang sebelah mata hanya karena perbedaan ras, suku, warna kulit dan agama. Dianggap tidak pantas karena perbedaan kelas sosial. Sampai kapan masyarakat kita menutup mata untuk kesejahteraan saudaranya sendiri. Miris rasanya perjuangan pahlawan-pahlawan kita untuk menyatukan bumi pertiwi, hanyalah kenangan belaka. Masih teringat jelas bagaimana yang terdahulu memperjuangkan hak hidup bangsa ini. Sedangkan anak cucunya mengacuhkan nilai-nilai yang sudah diperjuangkan. Sungguh hal yang memilukan tengah terjadi di negeri yang majemuk ini.
Kasus diskriminasi tidak hanya terjadi karena perbedaan ras, suku, warna kulit, status sosial dan agama. Namun juga terjadi pada tingkat gender. Tak jarang perempuan dianggap tidak pantas memimpin dan tidak sanggup bekerja dengan jabatan tinggi. Pandangan masyarakat tentang hak perempuan masih terlihat semu, perempuan hanya dituntut untuk melakukan kewajibannya. Kebudaayan patriarki dimana masyarakat masih mempercayai kendali penuh oleh laki-laki pada semua bidang, menimbulkan keterbatasan akses dan kesempatan bagi perempuan untuk maju pada bidang-bidang tersebut. Walaupun di era globalisasi ini perempuan sudah mulai berani maju untuk menerobos pandangan yang sudah melekat, tetap saja tidak bisa mengubah persepsi masyarakat bahwa perempuan yang mengurus rumah tangga, lemah dan tidak berdaya.
Hampir empat dekade Indonesia berusaha menghapuskan segala bentuk upaya diskriminasi perempuan melalui terbitnya Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Kendati demikian, masih banyak hambatan yang terjadi dalam merealisasikannya. Kenyataannya masih banyak diskriminasi yang dialami perempuan diberbagai bidang dan lingkar kasus kekerasan yang tidak kunjung putus. Wajah Perempuan masih dianggap lemah dihadapan hukum, tidak jarang upaya perempuan untuk melakukan pengaduan atas tindak kekerasan yang dialaminya diabaikan dan tidak diperjuangkan oleh aparat penegak hukum.
Selain itu, pandangan masyarakat tentang perempuan juga terlihat dalam peran yang diharapkan dari mereka dalam keluarga. Tekanan menjadi “Ibu Sempurna“ kerap kali membuat perempuan merasa terbebani dan tidak dihargai. Tak jarang para perempuan banyak disalahkan atas hambatan yang terjadi di dalam rumah tangganya, terutama dalam mengurus keluarga dan tumbuh kembang anak. Hal ini tentunya menghambat kemajuan menuju keseimbangan peran antara suami dan istri, serta membatasi pilihan hidup perempuan dalam mengejar karir atau minat pribadi mereka.
Isu Kesehatan dan reproduksi juga menjadi tekanan kuat bagi perempuan di seluruh Indonesia. Tubuh perempuan diatur untuk memiliki anak dan melanjutkan keturunan. Pandangan tradisional ini seringkali memicu pandangan negatif terhadap perempuan yang tidak memiliki anak secara biologis. Padahal nilai perempuan tidak hanya terletak pada perannya sebagai ibu. Semua perempuan memiliki kontribusi unik dalam masyarakat, melampaui status reproduktif.
Pandangan mengenai perempuan juga tercermin dari bagaimana stereotip dan pandangan masyarakat tentang cara berpakaian mereka. Perempuan dirundung oleh kalimat “pakaian yang pantas “ dan “ tidak pantas “. Sedangkan sikap diskriminasi terhadap kebebasan perempuan untuk berpakaian adalah bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Perempuan harus memiliki hak untuk bebas berekspresi dengan pakaian mereka tanpa khawatir adanya tindak penilaian negatif dan diskriminatif.
Penting bagi masyarakat untuk menggeser pandangan tentang perempuan menuju arah yang lebih inklusif dan setara. Pemerintah juga memiliki peran penting dalam mengubah pandangan masyarakat terhadap perempuan. Melalui edukasi, kampanye hak perempuan, hukum, pemberdayaan ekonomi dan penghapusan stereotip gender secara berkelanjutan. Pandangan perempuan di masyarakat adalah cerminan dari norma dan nilai yang berkembang.
Sebagai wujud menyongsong peringatan hari ibu tanggal 22 desember, mari kita berkomitmen untuk mengatasi segala bentuk diskriminasi pada perempuan. Kemerdekaan yang sejati tidak hanya berarti merdeka dari penjajahan fisik, tetapi juga merdeka dari segala bentuk ketidaksetaraan dan diskriminasi. Dengan menciptakan lingkungan yang adil dan inklusif bagi semua warga negara, kita dapat bergerak menuju kemerdekaan yang sejati dan adil bagi setiap individu, tanpa memandang jenis kelamin